BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang
berdasarkan Pancasila. Pemerintah Orde Baru pada era tahun 1980-an menginginkan
Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia sehingga pemerintah saat
itu mensosialisasikan Rancangan Undang-Undang (RUU) No 5/1985 tentang
pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Pada 1984 beredar desas-desus bahwa
Soeharto akan mendorong adanya asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai
satu-satunya platform ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga politik
di Indonesia. Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian
besar tokoh Islam di Indonesia. Soeharto, dengan gaya anti-komunisnya,
menyatakan tidak perlu khawatir karena Pancasila itu sila pertamanya adalah
Ketuhanan yang Maha Esa, jadi soal-soal spiritual tidak akan terbengkalai walau
digantikan dengan Pancasila.
Selain itu, Indonesia juga dikenal
sebagai negara hukum. Namun kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia masih
sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum
mampu ditangani oleh pemerintah, khususnya kasus-kasus pada masa Orde Baru,
salah satu kasus tersebut adalah Peristiwa Tanjung Priok 1984. Makalah ini
mengangkat tema Peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai objek penelitian, karena
mengingat peristiwa ini merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang
dampaknya berkelanjutan hingga saat ini. Kemudian Peristiwa Tanjung Priok 1984
ini juga adalah peristiwa yang berhubungan dengan (RUU)No.5Tahun1985 tentang
pemberlakuan asas tunggal Pancasila.
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat
pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir
kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Setiap individu mempunyai keinginan agar
HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah
melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur
dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM
baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan
suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan
Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun
1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang kami kaji dalam makalah ini antara lain:
1. Bagaimana
latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984?
2. Bagaimana
proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984?
3. Bagaimana
Penanganan kasus Tanjung Priok 1984?
4. Apa
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus Tanjung Priok 1984?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984.
2. Untuk
mengetahui proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984.
3. Untuk
mengetahui Penanganan kasus Tanjung Priok 1984.
4. Untuk
mengetahui Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus Tanjung Priok
1984.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas tentang Tanjung Priok
Tanjung
Priok, sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh, termasuk salah
satu daerah miskin dan kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa dan
pulau-pulau yang berdekatan guna mencari penghidupan, supaya mereka dapat hidup
di kota Jakarta. Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus
kependudukan, Tanjung Priok merupakan daerah paling padat, di mana setiap meter
persegi dihuni oleh sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau salah, yang
pasti daerah ini dipadati oleh penduduk yang aktivitasnya non stop dua puluh
empat jam. Warung-warung dan barbar buka setiap malam.
Di daerah
semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer kehidupan, tempat
berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak serta tempat melepas lelah dari
kepenatan kerja di jalan-jalan dan lorong-lorong. Segala keruwetan masalah
menjadi pusat pembicaraan dan omongan diantara para jama’ah masjid. Pada
pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan
penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Di antara
pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang muballigh terkenal,
menyampaikan ceramah pada para jama’ahnya dengan menjadikan masalah tersebut
sebagai topik pembahasan, sebab rancangan undang-undang tersebut telah lama
menjadi masalah yang kontroversial.
B.
Kronologi Peristiwa Tanjung Priok
Pada
tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla kecil bernama
‘Musholla As-Sa’adah’ dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan
tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman
tentang jadwal pengajian yang akan datang. Tidak heran jika kemudian
orang-orang yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah laku Babinsa itu.
Keesokan harinya, Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu,
mendatangi mushola As-Sa’adah untuk menyita pamflet berbau ‘SARA’. Namun
tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke
dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushola dengan air got,
bahkan menginjak Al-Qur’an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar.(kesaksian
Abdul Qadir Djaelani)
Pada
tanggal10 September 1984, Beberapa anggota jamaah Mushola As Sa'adah berpapasan
dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushola mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid
Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua
orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdampingan dengan musholla
As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan mengajak kedua tentara itu masuk
ke sekretariat Takmir masjid guna membicarakan masalah yang sedang hangat.
Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua
pengurus Takmir masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya
persoalannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran
tersebut. Para jama’ah yang berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu
tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah
seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian dibakar. Maka pada
hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya
ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan musholla
As-Sa’adah dan seorang lain lagi yang ketika itu berada di tempat kejadian.
Selanjutnya, Muhammad Nur, salah seorang yang ikut membakar motor ditangkap
juga. Akibat penahanan keempat orang tersebut kemarahan massa menjadi kian tak
terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka-mereka
yang ditangkap itu.
Pada hari
berikutnya, para tetangga musholla yang masih menyimpan kemarahan datang kepada
salah seorang tokoh daerah itu, bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal
memiliki hubungan baik dengan beberapa perwira di Jakarta. Amir Biki
menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk
meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya
tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai
salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat.Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Pada
tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh menyampaikan ceramahnya di
tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya
adalah kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara
dengan keras yang isinya menyampaikan ultimatum agar membebaskan para tahanan
paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan
massa mengadakan demonstrasi.
Di saat
ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demonstran bergerak menuju
kantor Polsek dan Koramil setempat.
Setelah
sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang
oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata
otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar
militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut
oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur
dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para
jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh
menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris;
beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Lebih sadis lagi, mereka yang
belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai
mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah
mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan
pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan
senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi
berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas
mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat
menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan
bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh
para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti
dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan
itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua
buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena
tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah
mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama
kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang
bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya,
sampai bersih.
Sementara
itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir
Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang
oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan
perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah
pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis
militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di
belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri,
tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian
jatuh tersungkur menjadi syahid. Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu
langsung dibawa ke kamar mayat
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah
pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima
Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya,
apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa
bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini
karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian
Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel
Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa
jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang
ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas
satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan
bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki
sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
C.
Dampak dari Peristiwa Tanjung Priok 1984
Tragedi
Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang.
Sebagian besar berasal dari kalangan umat Islam, terutama mereka yang dianggap
melakukan tindakan subversi dengan statemen-statemen cita-cita Negara Islam.
Jumlah korban dalam tragedi masih simpang siur. Menurut hasil investigasi tim
pencari fakta, SONTAK (Solidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung priok),
diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat.
Sementara menurut Komnas HAM dalam laporannya yang dimuat di Tempo Interaktif
menyatakan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55
orang dan meninggal 24 orang. Sementara keterangan resmi pemerintah korban
hanya 28 orang.
Sampai dua
tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam.
Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau
kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat. Hingga kini, peristiwa
Tanjung Priok masih menyisakan misteri. Korban yang meninggal tidak diketahui
pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan mengalami cacat seumur hidup, juga
tidak jelas kesalahannya, banyak diantara mereka yang menjadi koban, padahal
tidak mengetahui apa-apa.
D.
Upaya Penyelesaian Peristiwa Tanjung Priok
Negara Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan atas hukum. Salah satu dari unsur hukum tersebut adalah adanya
jaminan perlindungan dan penghormatan atas HAM . Yang dimaksud dengan Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
Dalam menangani kasus Tanjung Priok 1984
tidak semudah seperti menangani kasus pelanggaran biasanya, karena kasus
Tanjung Priok ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM berat. Seperti yang
tertera dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Bab IX tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia pasal 104 yakni:
1. Untuk
mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum
2. Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun
3. Sebelum
terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diadili oleh pengadilan yang berwenang
Selain
itu, kasus Tanjung Priok 1984 ini merupakan kasus yang terjadi sebelum adanya
undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sehingga kasus Tanjung Priok
ini harus diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc, hal ini tertera juga dalam
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 43 ayat 1 bahwa Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc
Hingga saat ini kasus Tanjung Priok masih
belum dapat diselesaikan. Binsar Gultom seorang Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc
Jakarta, menyatakan bahwa kasus Tanjung Priok ini telah selesai, yang ditandai
oleh pembebasan Sriyanto pada tahun 2005, serta Purnowo dan Sutrisno Mascung
pada tahun 2006. Namun bagi para korban Tanjung Priok hal ini sangat tidak adil
dan sangat mengecewakan, karena banyak aturan hukum yang mengatur tentang HAM,
yang salah satunya yaitu terdapat dalam UUD 1945 BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia,
khususnya pasal 28I [20], hingga akhirnya para korban memutuskan untuk meminta
perhatian dari Presiden. Kemudia pada bulan Maret 2006 Kontras (Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi Yudisial, namun
hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan dari kasus Tanjung
Priok 1984.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada1984
beredar desas-desus bahwa Soeharto bakal mendorong adanya asas Tunggal, yaitu
Pancasila, sebagai satu-satunya platform ideologi politik untuk seluruh partai
dan lembaga politik di Indonesia. Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan
sinis oleh sebagian besar tokoh Islam di Indonesia.
Seorang
oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala
As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun tindakan Sersan Hermanu
sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas
sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur'an.
Warga marah dan motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushola
diciduk Kodim. Mubaligh Abdul Qodir
Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di
Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh akbar Ribuan orang berkumpul dengan semangat
membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana,
dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin
keras.
Di Jalan
Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun,
padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani. Massa sama sekali
tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tanpa
peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju.
Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran
listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari
moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Kemudian, datang konvoi truk
militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan.
Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki.
Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung
Priok banjir darah.
Dari
uraian diatas dapat di simpulkan sbb:
1. Penyebab
Terjadinya peristiwa Tanjng Priok
a. Petugas
koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan)
b. Pembakaran
motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak koramil
tidak terima.
2. Peristiwa
Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di
Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan
luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan
defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang
kemudian menembaki mereka. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh
munculnyaketetapan MPR No II/1983 tentang garis-garis besar haluan Negara bab
IV D Pasal 3.Kemudian terjadiperistiwa perampasan brosurdan pamfletyang
mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan
penyerangan oleh massa kepada aparat.
3. Kasus
Tanjung Priok 1984 mengalami penanganan oleh pengadilan HAM dari tahun 26
Agustus - 6 Maret 2006. Hingga akhirnya para korban memutuskan untuk meminta
perhatian dari Presiden. Kemudian pada bulan Maret 2006 Kontras (Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi Yudisial, namun
hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan dari kasus Tanjung
Priok 1984
4. Kasus
Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM yangbersifat
berat. Adapun pelanggaran-pelanggaran tersebut berupa Pembunuhan kilat (summary
killing), Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and
detention), Penyiksaan
B. Saran
Sebagai
makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang
lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM
kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Kami
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang
ada di makalah ini, oleh karena itu kami berharap kepada semua pihak agar
memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penulisan
yang selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Buku Pusat Studi
dan Pengembangan Informasi Partai Bulan Bintang. (1998). Tanjung Priok
Berdarah, Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta : Gema Insani Press.
Ricklefs, MC. (2008).
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : Serambi.
Santosa, Kholid O.
(2008). Perjalanan Sang Jenderal Soeharto (1921-2008). Bandung : Sega
Tim Peduli Tapol. (2000).
Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980– 2000. Terjemahan oleh Mohammad Thalib.
Yogyakarta: Wihdah Press.
http: //
www.scribd.com/doc /42489825/Pembahasan- Tanjung-Priok
http://hukum.kompasiana.com
/2014/05/01/refleksi-kasus-tanjungpriok-650551.html
http://www.tempo.co/read/news 173402558/Kasus-
tanjung priok-Sulit-diungkap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar