BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Operasi militer Indonesia di Aceh
1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah adalah operasi
kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998
melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut,
Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), di mana
Tentara Nasional Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam
skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh.
Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan
eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan
pembakaran desa. Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi militer
ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.
Desa yang dicurigai menyembunyikan
anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik dan disiksa.
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan
dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun
1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Operasi
ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas
perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya
Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
terjadinya kasus HAM di Aceh ?
2. Bagaimana
Permasalahan DOM di Aceh ?
3. Apa
saja contoh-contoh pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh?
C.
TUJUAN
Berdasarkan
uraian dalam latar belakang masalah dan
rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui pelanggaran HAM di Aceh
2. Agar
dapatmengetahui apa saja permasalahan HAM di Aceh.
3. Agar
dapat mengetahui contoh-contoh pelanggaran HAM di Aceh
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA
HAM adalah
hak-hak dasar yang melekat pada diri manusiasejak Ia lahir,tanpa hak-hak itu
manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.Menurut John Locke HAM adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang
kodrati. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan
bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”.
B.
ACEH MERUPAKAN DAERAH KONFLIK
Aceh
adalah daerah yang pernah dilanda konflik dalam kurun waktu yang cukup lama.
Sebagai daerah konflik, berbagai kasus HAM sering kali ditemukan di sana.
Setidaknya, ada beberapa catatan penting terkait kasus HAM Aceh, di antaranya
adalah sebagai berikut.
Ø Operasi
Jaring Merah atau Daerah Operasi Militer (DOM)
Ø Konflik
bersenjata
Ø Darurat
militer
Ø Darurat
Dari
sekian kasus tersebut, Operasi Jaring Merah atau Daerah Operasi Militer (DOM)
merupakankasus HAMyang banyak disoroti oleh banyak kalangan. Sebab selama DOM
diberlakukan di Aceh, berbagai kasus HAM berulang kali terjadi di sana.
C.
DOM dan Kasus HAM (1989 - 1998)
Pada sekitar 1989 – 1990, terjadi
gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara
dan Aceh Timur. Gangguan keamanan tersebut diduga dilakukan oleh gerakan
separatis yaitu anggota-anggota Aceh Merdeka. Ketika GPK tidak lagi bisa
teratasi (1976-1989) maka Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh
sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tepatnya pada 1989. Sejak saat itu operasi
militer dilakukan dengan sandi operasi “Jaring Merah” digelar di Aceh dengan
Komando Resort Militer 011/Liliwangsa dijadikan sebagai Komando Operasi
Pelaksana. Daerah Operasi terbagi dalam 3 sektor yaitu sektor A/Pidie, sektor
B/Aceh Utara dan sektor C/Aceh Timur. Di lingkungan daerah operasi dibentuk
pula Satuan Tugas Intelegen (Satgasus), Satgas Marinir untuk mengamankan daerah
pantai, dan Satuan Taktis pada lokasi-lokasi strategis guna mengisolasi posisi
satuan Gerakan Pengacau Kemananan – Aceh Merdeka (GPK– AM). Di Kabupaten Pidie,
Pos Sattis tersebar di hampir seluruh kecamatan antara lain Billie Aron,
Jiem-Jiem, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang
Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan. Penempatan sejumlah pos militer di
sejumlah Kecamatan itu berdasarkan pada pertimbangan tingkat ganguan keamanan,
dan analisis strategi militer. Letak Pos Sattis sengaja dipilih pada
tempat-tempatyang strategis dengan menempati Rumoh Geudong (rumah adat Aceh)
sehingga memungkinkan aparat militer dengan mudahnya mengawasi aktivitas dan
mobilitas warga desa sehingga kehidupan dan kebebasan bergerak masyarakat dapat
dikontrol dan dibatasi secara ketat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pos
Sattis adalah andalan Operasi militer di tingkat mikro. Ia adalah tolak ukur
untuk menentukan sukses atau tidaknya sebuah Operasi Militer di Aceh. Di
tiap-tiap Pos Sattis ditempatkan sekitar 6 – 10 personil militer yang sebagian
besar berasal dari Aparat dengan dibantu oleh beberapa orang Tenaga Pembantu
Operasi (TPO) militer atau cuak yang berasal dari masyarakat sipil. Setelah DOM
dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 baru diketahui bahwa aparat ternyata telah
mempergunakan Rumah Geudong tidak hanya sebagai Pos Sattis melainkan juga
sebagai tempat untuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan seperti
penyekapan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan/eksekusi sewenang- wenang dan
pemerkosaan terhadap rakyat aceh yang dianggap sebagai tersangka atau tertuduh
Gerakan Pengacau Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM). Tindakan di luar batas
kemanusiaan dialami oleh warga sipil dan tidak hanya laki-laki namun juga
perempuan dan anak-anak. Diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan orang yang
ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada
yang telah dibunuh dalam eksekusi di depan umum, dan sejumlah perempuan
mengalami tindak kekerasan dan/atau pelecehan seksual oleh aparat militer.
Banyak juga diantara mereka yang pada akhirnya kehilangan tempat tinggal (mengungsi)
karena rumahnya di bakar. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh
yang menjadi korban penyiksaan atau pun ekskusi di tempat ini jika kembali
dihitung mulai 1990 sampai 1998. Pada umumnya korban yang berhasil
selamat/dibebaskan mengalami luka berat baik secara fisik maupun psikologis
akibat adanya penyiksaan yang dilakukan oleh aparat selama berada di Rumoh
Geudong. Tindak penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap para korban umumnya
dilakukan untuk memperoleh keterangan atau pengakuan terkait keterlibatan yang
bersangkutan atau keluarganya atau suaminya dalam GPK-AM. Penyiksaan dilakukan
dengan cara-cara pemukulan dengan menggunakan kayu/senjata, disetrum,
ditelanjangi dll. Ternyata penyiksaan yang dilakukan oleh aparat tidak hanya mengakibatkan
luka berat namun juga menimbulkan kematian seperti yang dialami oleh John dan
Mustakhir. Para korban penyiksaan yang meninggal dunia hingga saat ini tidak
diketahui makamnya ada di mana. Selain
melakukan kekerasan berupa penyiksaan, Aparat juga melakukan tindakan kekerasan
seksual dan/atau pelecehan seksual lainnya seperti pemerkosaan dan juga
pemaksaan melakukan hubungan seksual dengan sesama tahanan di depan khalayak
umur. Indikasi adanya dugaan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan,
pembunuhan dan kekerasan/pelecehan seksual oleh Aparat di Pos Sattis juga
diperkuat oleh keterangan dan/atau pengakuan saksi korban. Beberapa pihak
seperti Komnas HAM (dipimpin oleh Baharuddin Lopa pada Agustus 1998, yaitu
sesaat setelah DOM dicabut), DPR RI, dan juga Pemda Pidie telah melakukan
investigasi atas peristiwa rumoh geudong. Pemda Pidie bahkan membentuk Tim
Pencari Fakta (TPF) dan menemukan data bahwa: 1. Di Kabupaten Pidie terjadi
3.504 kasus korban operasi militer Jaring Merah. 2. Dari sejumlah tersebut
tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meningal 378 kasus, perkosaan
14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359
kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus dan
rumah dirusak 47 kasus. Sementara itu nilai harta benda masyarakat yang
dirampas oleh oknum aparat keamanan diperkirakan mencapai Rp. 4,2 Miliar lebih.
Peristiwa Pembunuhan Massal Simpang KKA di Aceh Utara Peristiwa Simpang KKA
terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Peristiwa
ini diawali dengan isu bahwa pada 30 April 1999 ada anggota TNI Datasemen Rudal
001/Lilawangsa hilang, diduga bernama Edityawarman ketika tengah menyusup ke
acara ceramah agama pada peringatan 1 Muharram yang diselenggarakan warga Cot
Murong, Aceh Utara. Hilangnya anggota tersebut disikapi anggota pasukan militer
dari Detasemen Rudal dengan melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan ke
tempat aktivitas warga pada 02 Mei 1999. Pada saat itu, warga juga sedang
melaksanakan kenduri untuk peringatan 1 Muharram. Saat pencarian, aparat
melakukan kekerasan yang mengakibatkan sekitar 20 (dua puluh) orang warga
mengalami kekerasan; dipukul,ditendang dan diancam, bahkan 3 (tiga) warga yang
ditangkap oleh Yonif 113/Jaya Sakti karena dituduh terlibat dengan hilangnya
Edityawarman. Pasukan TNI masuk ke dusun Tepin mengambil masyarakat dusun
tersebut. Pada 3 Mei 1999, warga tidak terima dengan tindakan aparat akhirnya
menggelar aksi protes di kantor Koramil. Warga meminta Koramil untuk
membebaskan warga yang ditangkap oleh aparat. Tanpa dikomando setelah mendengar
ada orang ditangkap, maka semua ibu-ibu keluar ke jalan-jalan sehingga
kerumunan massa semakin banyak di jalan-jalan Lancang Barat dan sekitarnya.
Pada saat itu ada warga yang menaruh drum minyak tanah dipinggir jalan.
Tiba-tiba masuk TNI dari Yonif 113/Jaya Sakti. Truk Reo (Ransom E. Olds Motor
Car Company) mereka menabrak drum yang ditaruh dijalan oleh massa, sehingga
suasana semakin memanas. Massa semakin marah dan menuju simpang KKA dari
berbagai arah. Sehingga di simpang KKA semakin dipenuhi oleh massa. Pada 03 Mei
1999, tepat pukul 09.00 WIB, empat truk pasukan TNI memasuki desa Lancang
Barat, Kec. Dewantara. Ditempat tersebut kemudian datang aparat Yonif 113/Jaya
Sakti yang bersenjata lengkap dan berbaris di sisi kanan jalan. Pukul 12.30,
salah satu aparat yang sebelumnya dikepung warga melarikan diri ke arah
belakang reo sambil membawa HT dan menembak keudara sebanyak dua kali. Ketika
warga mencoba mengejar aparat tersebut, tiba-tiba dari arah sebelah kiri
(Markas Detasemen Rudal 001/Lilawangsa) datang reo berisikan puluhan aparat
bersenjata menembak ke arah masyarakat. Sebagian dari mereka turun dari truk
dan berjalan ke arah kerumunan massa sambil menembak secara acak dan sebagian
masih tetap menembak dari atas truk. Korban-korban yang terkena tembakan
berdasarkan data yang ada, sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 21 orang yang
meninggal dunia sebagai akibat dari peristiwa tersebut. Peristiwa Pembunuhan
Bumi Flora Aceh Timur PT. Bumi Flora adalah perusahaan perkebunan di Dusun
Pelita, Desa Alur Rambut, Kecamatan Banda Alam (sebelumnya Kecamatan Idi
Rayeuk), Kabupaten Aceh Timur. Kamis, 9 Agustus 2001 adalah hari libur bagi
karyawan PT. Bumi Flora. Namun sekitar pukul 07.30 Wib, datanglah sekelompok
orang yang tidak dikenal dan memakai pakaian loreng serta membawa senjata api
masuk ke lokasi perkebunan. Kemudian kelompok ini mendatangi rumah-rumah para
karyawan dan memerintahkan pada setiap warga laki-laki untuk ber kumpul.
Setelah itu para laki-laki dibariskan dalam beberapa barisan dan masing-masing
diminta membuka baju serta berjongkok dengan tangan di atas paha. Setelah itu
salah seorang dari kelompok tersebut bertanya kepada Mandor Kepala Afdeling IV
yang bernama Samsul mengenai berapa jumlah Kepala Keluarga yang ada di
AfdelingIV dan kemudian dijawab oleh bahwa di AfdelingIV ada 42 KK. Tanpa
mengajukan pertanyaan lebih lanjut, orang tersebut menembak Samsul. Tidak lama
kemudian terdengar rentetan tembakan yang mengarah kepada barisan warga
laki-laki. Pada saat itu juga terjadi penembakan lainnya terhadap warga
laki-laki yang masih berada di luar barisan/sekitar lokasi kejadian. Para
perempuan yang sebelumnya diperintahkan masuk ke dalam rumah, kemudian dikumpulkan
di dekat para korban yang tergeletak. Sepeninggal rombongan berseragam loreng
tersebut, warga perempuan Afdeling IV PT.Bumi Flora mencari suami mereka
masing-masing yang sebagian besar sudah menjadi mayat. Saksi sempat menghitung
dan membolak-balik mayat dan menemukan bahwa ternyata di antara para korban ada
yang masih hidup sebanyak 7 (tujuh) orang dan 2 (dua) orang lainnya tidak
dikenal oleh saksi. Bantuan baru
datang ke lokasi kejadian 6 jam setelah kejadian, yaitu sekitar 14.00 Wib, dan
langsung mengevakuasi para korban dengan menggunakan 2 (dua) unit mobil
ambulance ditambah dengan mobil PT.Bumi Flora sejenis truk yang biasanya
digunakan untuk mengangkat kelapa sawit. Pada peristiwa tersebut telah
menyebabkan korban jiwa sebanyak 31 (tiga puluh satu) orang, korban hilang
sebanyak 1 (satu) orang, dan korban luka sebanyak 5 (lima) orang, serta 2 (dua)
orang selamat tanpa menderita luka-luka. Peristiwa Penghilangan Orang Secara
Paksa dan Kuburan Massal di Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah. Pada
akhir tahun 2001, tepatnya antara bulan Agustus sampai dengan Desember terjadi
penghilangan orang secara paksa di Kecamatan Timang Gajah (sekarang Timang
Gajah dan Gajah Putih). Beberapa orang warga hilang dari desanya, yaitu Desa
Reronga dan Desa Sumberejo Kecamatan Timang Gajah (sekarang Gajah Putih), Desa
Bumi Ayu (sekarang Desa Bandar Lampahan), Desa Rembune, Desa Damaran, dan Desa
Fajar Baru Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten
Bener Meriah). Sampai saat ini keberadaan warga yang ditangkap tidak diketahui.
Sudah 11 (sebelas) tahun setelah peristiwa penghilangan orang secara paksa,
tersiar kabar mengenai telah ditemukannya beberapa kuburan tidak dikenal di
kebun milik warga, di Desa Bumi Ayu. Penggalian berlangsung pada 16 Juli 2012.
Ada 3 titik yang digali saat itu, titik kedua sudah jelas korban dan
keluarganya dari pakaian pakaian yang dikenakan dan geligi korban. Titik
pertama dan ketiga saat itu ikut digali juga, tapi dihentikan oleh pihak
Koramil karena belum ada surat izinnya. Aparat keamanan sering melakukan razia
di kampung-kampung di wilayah Kecamatan Bakongan, termasuk di Desa Jambo Keupok
tersebut. Paska DOM yaitu pada malam 16 Mei 2013, sekitar 22.00 WIB warga
mendengar suara letusan senjata api aparat TNI di lapangan bola kaki Bakongan.
Kemudian pada 17 Mei 2003 pukul 05.30 – 07.00 WIB penduduk Jambo Keupok, Kec.
Bakongan, Aceh Selatan dikejutkan dengan kedatangan 3 truk reo tentara (warna
hijau) yang memasuki rumah Abdullah Hadad. Di antara tentara tersebut terdapat
seorang cuak (informan sipil bagi tentara) yang memakai seragam militer, sebo,
dan me megang parang. Selanjutnya para lelaki dikumpulkan di luar rumah, para
perempuan ditempatkan di dalam rumah warga dan di kelas SDN Jambo Keupok.
Sementara itu warga dan 10 laki-laki lainnya diperintahkan berdiri berjejer
didepan rumah yang jaraknya 15 meter 13 dari tempat anak laki-laki dikumpulkan.
Kemudian satu-satu para perempuan dikeluarkan dan dipindahkan ke SDN Jambo
Keupok. Ke-12 orang laki-laki yang berada di depan rumah warga diperintahkan
mengangkat tangan dan +15 tentara mengeluarkan tembakan acak ke arah para
lelaki yang berbaris ini, ada yang terkena kakinya atau tangannya atau
punggungnya. Setelah tentara meninggalkan desa, warga Desa JamboKeupok baru
berani mendatangi rumah warga yang sudah habis terbakar dan menemukan
mayat-mayat yang terbakar. Dalam peristiwa 17 Mei 2003 di Jambo Keupok
menyebakan: 1. Korban jiwa atas 16 orang laki-laki (12 dibakar hidup-hidup dan
4 orang mati ditembak) 2. Penyiksaan yang dilakukan terhadap 16 orang yang
kemudian mati (ditendang, dipukul dengan popor senjata), 1 orang korban
perempuan yang dipukul dan ditembak hingga pingsan, dan 1 orang korban
perempuan yang dipukul di bagian belakang kepala. 3. Rumah yang hancur dibakar
sebanyak 4 rumah beserta isinya. Peristiwa ini terkait dengan DOM Aceh Sumber:
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa
DOM di Provinsi Aceh
D.
AKIBAT DARI DOM DI ACEH
Masyarakat
Aceh sadar betul bahwa limpahan kekayaan alam yang seharusnya mereka nikmati
ternyata justru diberikan pemerintah pusat kepada asing. Keuntungan sumber daya
alam yang semestinya dikelola pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat di
sana, malah digelontorkan untuk kepentingan elit penguasa maupun investor
asing.
Padahal, masyarakat Aceh telah menorehkan perjuangan
luar biasa dalam mengusir penjajah dari bumi Serambi Mekkah. Namun pada
kenyataannya, mereka justru menjadi anak tiri bagi ibu kandungnya sendiri. Rasa
sakit hati karena diperlakukan tidak adil inilah yang menyulut berbagai reaksi
protes di sana.
Berbagai
reaksi protes masyarakat Aceh yang menuntut keadilan serta gerakan-gerakan yang
menentang dampak industrialisasi justru oleh pemerintah dianggap sebagai
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Munculnya GPK
maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sudah eksis sejak tahun 1976,
akhirnya membulatkan tekad Presiden Soeharto untuk memberlakukan Daerah
Operasi Militer (DOM) di sana. Dengan
sandi Operasi Jaring Merah, DOM resmi diberlakukan pada tahun 1989.
Sayangnya, selama DOM berlangsung bukannya rasa aman
dan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat Aceh. Namun malah sebaliknya,
keamanan masyarakat Aceh sangat terancam. Mereka seakan menjadi pesakitan.
Berbagai teror dan tindak kekerasan menjadi pemandangan biasa dalam kehidupan
sehari-hari. Sejumlah kasus HAM mewarnai sepak terjang aparat militer selama
mereka bertugas di sana. Selama masa operasi DOM digelar, korban dari
masyarakat terus berjatuhan.
Dalam
kurun waktu 1989 hingga 1998 sudah tercatat 8.344 masyarakat sipil tewas, 4.670
anak-anak menjadi yatim, 1.465 wanita menjadi janda, 875 orang dinyatakan
hilang, 298 orang cacat, 809 rumah dibakar, serta sejumlah kasus perkosaan
adalah kisah tragis yang harus dirasakan oleh masyarakat Aceh. Ironisnya,
pelaku semua tindakan pelanggaran HAM berat tersebut justru aparat keamanan
yang seharusnya melindungi mereka.
Berdasarkan sejumlahkasus HAMdi atas, jumlah janda
yang tertinggi akibat DOM disinyalir terjadi di
daerah Pidie. Jumlah total janda di Pidie mencapai 5,5% dari total
penduduknya (1990). Setidaknya pada waktu itu jumlah janda mengalami kenaikan
hingga menembus angaka 24 ribu.
Banyaknya
jumlah janda di Pidie menyebabkan rasio jumlah penduduk pria dan wanita menjadi
tidak proporsional. Perbedaan yang mencolok tersebut sangat terlihat dalam
rentan waktu antara tahun 1990 hingga tahun 1997, yaitu sebagai berikut.
Ø Tahun
1990 : jumlah penduduk pria 204.900, wanita 216.447
Ø Tahun
1991 : jumlah penduduk pria 205.549, wanita 217.608
Ø Jumlah
yang serupa terjadi hingga tahun 1995
Ø Tahun
1996 : jumlah penduduk pria 219.533, wanita 238.012
Ø Tahun
1997 : jumlah penduduk pria 220.844, wanita 239.547
Persebaran jumlah janda di Pidie sangat merata di
hampir setiap kecamatan. Peringkat teratas terdapat di kecamatan Pidie, Bandar
Dua, Meuredu, Bandar Baru, Glumpang Tiga, dan Mutiara. Tidak hanya itu saja.
Tingkat pertumbuhan penduduk di Pidie juga terkena imbasnya.
Jika
sebelumnya tingkat pertumbuhan penduduknya rata 1,4% per tahun, maka kemudian
terjadi kemerosotan hingga mencapai 0,4% per tahun. Padahal rata-rata
pertumbuhan penduduk secara nasional pada waktu itu adalah 2%. Rendahnya
tingkat pertumbuhan penduduk Pidie disinyalir bukan karena faktor KB, namun
cenderung akibat tingginya angka kematian jika dibandingkan dengan angka
kelahiran hidup.
E.
KASUS HAM ACEH MENYEBABKAN TRAUMA
DOM
telah menyisakan trauma psikis yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh. Luka
yang mendalam akibat DOM telah tertoreh dalam di hati anak-anak, wanita, pria,
baik yang muda hingga yang tua. Mereka yang mengalaminya langsung tentu
merasakan trauma psikis yang lebih berat bila dibandingkan dengan yang tidak
mengalaminya langsung.
Kasus HAM selama DOM berlangsung
ternyata berpotensi menyebabkanmental disorder(kekacauan mental). Setidaknya,
ada lima bentuk kekacauan mental yang timbul akibat hal tersebut. Di antaranya
adalah sebagai berikut.
a. Paranoid.
Dimana timbul rasa takut, sehingga memunculkan rasa curiga dan sikap bermusuhan
kepada orang yang tidak dikenalnya.
b. Neurosa
Depresif. Semacam gangguan perasaan yang ditandai dengan tidak bersemangat,
merasa tidak memiliki harga diri, apatis, menyalahkan diri sendiri, bahkan
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri.
c. Neurosa
Phobia. Merupakan bentuk ketakutan yang luar biasa terhadap hal-hal yang mampu
menimbulkan rasa trauma pada diri yang bersangkutan. Sebagai contoh, wanita
yang mengalami tindak perkosaan akhirnya merasa takut terhadap sosok pria yang
mirip dengan pelaku perkosaan.
d. Neurosa
Histerik. Sebagai tandanya adalah hilangnya fungsi fisik maupun mental yang
tanpa dikehendaki. Bentuknya antara lain berupa konversi kecemasan yang
berbentuk gangguan fungsional syaraf, misalnya buta, tuli, atau lumpuh pasca
menjalani pengalaman traumatis. Reaksi lain yang muncul bisa berbentuk disosiasi,
yakni terpisahnya sejumlah fungsi kepribadian. Salah satu contohnya adalah
timbulnya amnesia akibat keinginan yang kuat untuk melupakan trauma pada
dirinya.
Kekacauan mental lainnya yang muncul
sebagai dampak trauma psikis tersebut bisa berbentuk neurosa maupun psikosa.
Jenis neurosa masih bersifat temporer sehingga berpeluang untuk disembuhkan.
Sedangkan psikosa sifatnya menyeluruh dan bisa menimbulkan disorientasi
terhadap lingkungan. Oleh karena itu peluang untuk sembuh sangat minim.
F.
Kasus HAM - DOM Berakhir, Permasalahan HAM Aceh Belum Tuntas
Meskipun
akhirnya DOM tidak lagi diberlakukan pada masa Presiden Habibie, bukan berarti
kasus HAM Aceh bisa terselesaikan dengan tuntas. Setidaknya, ada sejumlah
indikasi yang menunjukkan hal tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Pertanggunjawaban Pemerintah
Masyarakat Aceh belum melihat
sepenuhnya pertanggungjawaban pemerintah dalam mengatasi dampak DOM. Pemerintah
belum menjalankan pertanggungjawaban secara hukum, sosial maupun politik.
Pemerintah tidak berani bertindak totalitas untuk membongkar pihak-pihak yang
harus bertanggung jawab dalam masalah ini.
Begitu pula dengan janda-janda korban
DOM. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab melakukan rehabilitasi ekonomi
kepada mereka. Belum lagi trauma psikis yang harus diderita oleh korban DOM.
Sudah seharusnya mereka mendapatkan perhatian yang intensif dari pemerintah.
Namun, nampaknya pemerintah belum menunaikan tanggung jawabnya secara totalitas
untuk semua itu.
2. Keadilan bagi Masyarakat Aceh
Keadilan
yang selama ini dituntut masyarakat Aceh nampaknya hanya tinggal harapan
belaka. Buktinya hingga kini yang menikmati sebagian besar sumber daya Aceh
tetaplah korporasi asing. Bahkan, keadilan HAM yang selama ini dikampanyekan di
seluruh penjuru dunia ternyata tidak berlaku bagi masyarakat Aceh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bumi Aceh
yang telah menjadi saksi bisu ladang pembantaian keji aparat militer, hingga
kini tidak mampu berbuat apa-apa. Masyarakat pun dibuat menunggu dalam
ketidakpastian, menanti itikad baik dari pemerintah.di mana Tentara Nasional
Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan
sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai
sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi
sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa.
Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi militer ini sebagai
"shock therapy" bagi GAM.
Desa yang dicurigai menyembunyikan
anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik dan disiksa.
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan
dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun
1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Operasi
ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas
perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya
Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.
Demikianlah,
kasus HAM Aceh telah menorehkan tinta buruk di negeri ini. Semoga kasus yang
serupa tidak akan pernah lagi terjadi. Dimana yang diharapkan di negeri ini,
khususnya oleh masyarakat Aceh adalah rasa keamanan serta tegaknya masalah HAM
di bumi tercinta, Indonesia.
B.
SARAN
Dalam hal ini seharusnya rakyat-rakyat
yang tidak bersalah terutama wanita dan anak-anak yang masih dibawah umur tidak
ikut terlibat dalam Operasi Jaring Merah. Namun sayang semuanya sudah terjadi
dan semoga hal seperti ini tidak terulang kembali.
Kami menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang ada di makalah ini, oleh karena
itu kami berharap kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk penulisan yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung
Nasution, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Akhmad Muamar,
Makalah Berisi Tentang pelanggaran HAM
Di Indonesia
http://lylanet.blogspot.com
/2013/09/makalah-berisi-tentang- pelanggaran-ham.html
DOMAceh; Dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas; http://pelanggaran
ham.com
http://sekitarkita.com/2002/05
/kronologi-singkat-tragedi- aceh/
http://rizkynugraha46.blogspot.co.i
d/2015/11/apa-yang-melatar- belakangi-peristiwa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar