Rabu, 03 Oktober 2018

Makalah HAM Tragedi Tanjung Priuk 1984

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang      
       Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila. Pemerintah Orde Baru pada era tahun 1980-an menginginkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia sehingga pemerintah saat itu mensosialisasikan Rancangan Undang-Undang (RUU) No 5/1985 tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Pada 1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto akan mendorong adanya asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia. Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar tokoh Islam di Indonesia. Soeharto, dengan gaya anti-komunisnya, menyatakan tidak perlu khawatir karena Pancasila itu sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa, jadi soal-soal spiritual tidak akan terbengkalai walau digantikan dengan Pancasila.
       Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara hukum. Namun kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum mampu ditangani oleh pemerintah, khususnya kasus-kasus pada masa Orde Baru, salah satu kasus tersebut adalah Peristiwa Tanjung Priok 1984. Makalah ini mengangkat tema Peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai objek penelitian, karena mengingat peristiwa ini merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang dampaknya berkelanjutan hingga saat ini. Kemudian Peristiwa Tanjung Priok 1984 ini juga adalah peristiwa yang berhubungan dengan (RUU)No.5Tahun1985 tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila.
       HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan
       Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah  setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
       Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
      
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami kaji dalam makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984?
2.      Bagaimana proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984?
3.      Bagaimana Penanganan kasus Tanjung Priok 1984?
4.      Apa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus Tanjung Priok 1984?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984.
2.      Untuk mengetahui proses terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984.
3.      Untuk mengetahui Penanganan kasus Tanjung Priok 1984.
4.      Untuk mengetahui Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ada pada kasus Tanjung Priok 1984.








BAB II
PEMBAHASAN


A. Sekilas tentang Tanjung Priok
       Tanjung Priok, sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh, termasuk salah satu daerah miskin dan kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa dan pulau-pulau yang berdekatan guna mencari penghidupan, supaya mereka dapat hidup di kota Jakarta. Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus kependudukan, Tanjung Priok merupakan daerah paling padat, di mana setiap meter persegi dihuni oleh sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau salah, yang pasti daerah ini dipadati oleh penduduk yang aktivitasnya non stop dua puluh empat jam. Warung-warung dan barbar buka setiap malam.
       Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer kehidupan, tempat berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak serta tempat melepas lelah dari kepenatan kerja di jalan-jalan dan lorong-lorong. Segala keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan dan omongan diantara para jama’ah masjid. Pada pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Di antara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang muballigh terkenal, menyampaikan ceramah pada para jama’ahnya dengan menjadikan masalah tersebut sebagai topik pembahasan, sebab rancangan undang-undang tersebut telah lama menjadi masalah yang kontroversial.

B. Kronologi Peristiwa Tanjung Priok

       Pada tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla kecil bernama ‘Musholla As-Sa’adah’ dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadwal pengajian yang akan datang. Tidak heran jika kemudian orang-orang yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah laku Babinsa itu. Keesokan harinya, Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushola As-Sa’adah untuk menyita pamflet berbau ‘SARA’. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushola dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur’an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar.(kesaksian Abdul Qadir Djaelani)
       Pada tanggal10 September 1984, Beberapa anggota jamaah Mushola As Sa'adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushola mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdampingan dengan musholla As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan mengajak kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir masjid guna membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran tersebut. Para jama’ah yang berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan musholla As-Sa’adah dan seorang lain lagi yang ketika itu berada di tempat kejadian. Selanjutnya, Muhammad Nur, salah seorang yang ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan keempat orang tersebut kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka-mereka yang ditangkap itu.
       Pada hari berikutnya, para tetangga musholla yang masih menyimpan kemarahan datang kepada salah seorang tokoh daerah itu, bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan beberapa perwira di Jakarta. Amir Biki menghubungi pihak-pihak  yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat.Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
       Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang isinya menyampaikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.
       Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demonstran bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
       Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
       Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat
       Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.

C. Dampak dari Peristiwa Tanjung Priok 1984
       Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang. Sebagian besar berasal dari kalangan umat Islam, terutama mereka yang dianggap melakukan tindakan subversi dengan statemen-statemen cita-cita Negara Islam. Jumlah korban dalam tragedi masih simpang siur. Menurut hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (Solidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung priok), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara menurut Komnas HAM dalam laporannya yang dimuat di Tempo Interaktif menyatakan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. Sementara keterangan resmi pemerintah korban hanya 28 orang.
       Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat. Hingga kini, peristiwa Tanjung Priok masih menyisakan misteri. Korban yang meninggal tidak diketahui pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan mengalami cacat seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya, banyak diantara mereka yang menjadi koban, padahal tidak mengetahui apa-apa.

D. Upaya Penyelesaian Peristiwa Tanjung Priok
       Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Salah satu dari unsur hukum tersebut adalah adanya jaminan perlindungan dan penghormatan atas HAM . Yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
       Dalam menangani kasus Tanjung Priok 1984 tidak semudah seperti menangani kasus pelanggaran biasanya, karena kasus Tanjung Priok ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM berat. Seperti yang tertera dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 104 yakni:
1.      Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum
2.      Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun
3.      Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang
Selain itu, kasus Tanjung Priok 1984 ini merupakan kasus yang terjadi sebelum adanya undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sehingga kasus Tanjung Priok ini harus diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc, hal ini tertera juga dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 43 ayat 1 bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc
       Hingga saat ini kasus Tanjung Priok masih belum dapat diselesaikan. Binsar Gultom seorang Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta, menyatakan bahwa kasus Tanjung Priok ini telah selesai, yang ditandai oleh pembebasan Sriyanto pada tahun 2005, serta Purnowo dan Sutrisno Mascung pada tahun 2006. Namun bagi para korban Tanjung Priok hal ini sangat tidak adil dan sangat mengecewakan, karena banyak aturan hukum yang mengatur tentang HAM, yang salah satunya yaitu terdapat dalam UUD 1945 BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 28I [20], hingga akhirnya para korban memutuskan untuk meminta perhatian dari Presiden. Kemudia pada bulan Maret 2006 Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan dari kasus Tanjung Priok 1984.






























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
       Pada1984 beredar desas-desus bahwa Soeharto bakal mendorong adanya asas Tunggal, yaitu Pancasila, sebagai satu-satunya platform ideologi politik untuk seluruh partai dan lembaga politik di Indonesia. Keinginan Soeharto ini ditanggapi dengan sinis oleh sebagian besar tokoh Islam di Indonesia.
       Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga marah dan motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushola diciduk Kodim.    Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh akbar  Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras.
       Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani. Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.
       Dari uraian diatas dapat di simpulkan sbb:
1.      Penyebab Terjadinya peristiwa Tanjng Priok
a.       Petugas koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan)
b.      Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak koramil tidak terima.
2.      Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh munculnyaketetapan MPR No II/1983 tentang garis-garis besar haluan Negara bab IV D Pasal 3.Kemudian terjadiperistiwa perampasan brosurdan pamfletyang mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
3.      Kasus Tanjung Priok 1984 mengalami penanganan oleh pengadilan HAM dari tahun 26 Agustus - 6 Maret 2006. Hingga akhirnya para korban memutuskan untuk meminta perhatian dari Presiden. Kemudian pada bulan Maret 2006 Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengadu ke Komisi Yudisial, namun hingga saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan dari kasus Tanjung Priok 1984

4.      Kasus Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM yangbersifat berat. Adapun pelanggaran-pelanggaran tersebut berupa Pembunuhan kilat (summary killing), Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention), Penyiksaan

B. Saran
       Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
       Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang ada di makalah ini, oleh karena itu kami berharap kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk  penulisan  yang selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku Pusat Studi dan Pengembangan Informasi Partai Bulan Bintang. (1998). Tanjung Priok Berdarah, Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta : Gema Insani Press.
Ricklefs, MC. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : Serambi.
Santosa, Kholid O. (2008). Perjalanan Sang Jenderal Soeharto (1921-2008). Bandung : Sega
Tim Peduli Tapol. (2000). Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980– 2000. Terjemahan oleh Mohammad Thalib. Yogyakarta: Wihdah Press.
http: // www.scribd.com/doc /42489825/Pembahasan- Tanjung-Priok
http://hukum.kompasiana.com /2014/05/01/refleksi-kasus-tanjungpriok-650551.html
http://www.tempo.co/read/news 173402558/Kasus- tanjung priok-Sulit-diungkap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar