Rabu, 03 Oktober 2018

Makalah DOM di Aceh


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
       Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), di mana Tentara Nasional Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.
       Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana terjadinya kasus HAM di Aceh ?
2.      Bagaimana Permasalahan DOM di Aceh ?
3.      Apa saja contoh-contoh pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh?

C.  TUJUAN
Berdasarkan uraian  dalam latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pelanggaran HAM di Aceh
2.      Agar dapatmengetahui apa saja permasalahan HAM di Aceh.
3.      Agar dapat mengetahui contoh-contoh pelanggaran HAM di Aceh
BAB II
PEMBAHASAN


A.  PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA
       HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusiasejak Ia lahir,tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.Menurut John Locke HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
B. ACEH MERUPAKAN DAERAH KONFLIK
       Aceh adalah daerah yang pernah dilanda konflik dalam kurun waktu yang cukup lama. Sebagai daerah konflik, berbagai kasus HAM sering kali ditemukan di sana. Setidaknya, ada beberapa catatan penting terkait kasus HAM Aceh, di antaranya adalah sebagai berikut.
Ø  Operasi Jaring Merah atau Daerah Operasi Militer (DOM)
Ø  Konflik bersenjata
Ø  Darurat militer
Ø  Darurat
       Dari sekian kasus tersebut, Operasi Jaring Merah atau Daerah Operasi Militer (DOM) merupakankasus HAMyang banyak disoroti oleh banyak kalangan. Sebab selama DOM diberlakukan di Aceh, berbagai kasus HAM berulang kali terjadi di sana.

C. DOM dan Kasus HAM (1989 - 1998)
            Pada sekitar 1989 – 1990, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Gangguan keamanan tersebut diduga dilakukan oleh gerakan separatis yaitu anggota-anggota Aceh Merdeka. Ketika GPK tidak lagi bisa teratasi (1976-1989) maka Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tepatnya pada 1989. Sejak saat itu operasi militer dilakukan dengan sandi operasi “Jaring Merah” digelar di Aceh dengan Komando Resort Militer 011/Liliwangsa dijadikan sebagai Komando Operasi Pelaksana. Daerah Operasi terbagi dalam 3 sektor yaitu sektor A/Pidie, sektor B/Aceh Utara dan sektor C/Aceh Timur. Di lingkungan daerah operasi dibentuk pula Satuan Tugas Intelegen (Satgasus), Satgas Marinir untuk mengamankan daerah pantai, dan Satuan Taktis pada lokasi-lokasi strategis guna mengisolasi posisi satuan Gerakan Pengacau Kemananan – Aceh Merdeka (GPK– AM). Di Kabupaten Pidie, Pos Sattis tersebar di hampir seluruh kecamatan antara lain Billie Aron, Jiem-Jiem, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan. Penempatan sejumlah pos militer di sejumlah Kecamatan itu berdasarkan pada pertimbangan tingkat ganguan keamanan, dan analisis strategi militer. Letak Pos Sattis sengaja dipilih pada tempat-tempatyang strategis dengan menempati Rumoh Geudong (rumah adat Aceh) sehingga memungkinkan aparat militer dengan mudahnya mengawasi aktivitas dan mobilitas warga desa sehingga kehidupan dan kebebasan bergerak masyarakat dapat dikontrol dan dibatasi secara ketat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pos Sattis adalah andalan Operasi militer di tingkat mikro. Ia adalah tolak ukur untuk menentukan sukses atau tidaknya sebuah Operasi Militer di Aceh. Di tiap-tiap Pos Sattis ditempatkan sekitar 6 – 10 personil militer yang sebagian besar berasal dari Aparat dengan dibantu oleh beberapa orang Tenaga Pembantu Operasi (TPO) militer atau cuak yang berasal dari masyarakat sipil. Setelah DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 baru diketahui bahwa aparat ternyata telah mempergunakan Rumah Geudong tidak hanya sebagai Pos Sattis melainkan juga sebagai tempat untuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan seperti penyekapan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan/eksekusi sewenang- wenang dan pemerkosaan terhadap rakyat aceh yang dianggap sebagai tersangka atau tertuduh Gerakan Pengacau Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM). Tindakan di luar batas kemanusiaan dialami oleh warga sipil dan tidak hanya laki-laki namun juga perempuan dan anak-anak. Diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan orang yang ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada yang telah dibunuh dalam eksekusi di depan umum, dan sejumlah perempuan mengalami tindak kekerasan dan/atau pelecehan seksual oleh aparat militer. Banyak juga diantara mereka yang pada akhirnya kehilangan tempat tinggal (mengungsi) karena rumahnya di bakar. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang menjadi korban penyiksaan atau pun ekskusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai 1990 sampai 1998. Pada umumnya korban yang berhasil selamat/dibebaskan mengalami luka berat baik secara fisik maupun psikologis akibat adanya penyiksaan yang dilakukan oleh aparat selama berada di Rumoh Geudong. Tindak penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap para korban umumnya dilakukan untuk memperoleh keterangan atau pengakuan terkait keterlibatan yang bersangkutan atau keluarganya atau suaminya dalam GPK-AM. Penyiksaan dilakukan dengan cara-cara pemukulan dengan menggunakan kayu/senjata, disetrum, ditelanjangi dll. Ternyata penyiksaan yang dilakukan oleh aparat tidak hanya mengakibatkan luka berat namun juga menimbulkan kematian seperti yang dialami oleh John dan Mustakhir. Para korban penyiksaan yang meninggal dunia hingga saat ini tidak diketahui makamnya ada di mana.            Selain melakukan kekerasan berupa penyiksaan, Aparat juga melakukan tindakan kekerasan seksual dan/atau pelecehan seksual lainnya seperti pemerkosaan dan juga pemaksaan melakukan hubungan seksual dengan sesama tahanan di depan khalayak umur. Indikasi adanya dugaan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan dan kekerasan/pelecehan seksual oleh Aparat di Pos Sattis juga diperkuat oleh keterangan dan/atau pengakuan saksi korban. Beberapa pihak seperti Komnas HAM (dipimpin oleh Baharuddin Lopa pada Agustus 1998, yaitu sesaat setelah DOM dicabut), DPR RI, dan juga Pemda Pidie telah melakukan investigasi atas peristiwa rumoh geudong. Pemda Pidie bahkan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dan menemukan data bahwa: 1. Di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus korban operasi militer Jaring Merah. 2. Dari sejumlah tersebut tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meningal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus dan rumah dirusak 47 kasus. Sementara itu nilai harta benda masyarakat yang dirampas oleh oknum aparat keamanan diperkirakan mencapai Rp. 4,2 Miliar lebih. Peristiwa Pembunuhan Massal Simpang KKA di Aceh Utara Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Peristiwa ini diawali dengan isu bahwa pada 30 April 1999 ada anggota TNI Datasemen Rudal 001/Lilawangsa hilang, diduga bernama Edityawarman ketika tengah menyusup ke acara ceramah agama pada peringatan 1 Muharram yang diselenggarakan warga Cot Murong, Aceh Utara. Hilangnya anggota tersebut disikapi anggota pasukan militer dari Detasemen Rudal dengan melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan ke tempat aktivitas warga pada 02 Mei 1999. Pada saat itu, warga juga sedang melaksanakan kenduri untuk peringatan 1 Muharram. Saat pencarian, aparat melakukan kekerasan yang mengakibatkan sekitar 20 (dua puluh) orang warga mengalami kekerasan; dipukul,ditendang dan diancam, bahkan 3 (tiga) warga yang ditangkap oleh Yonif 113/Jaya Sakti karena dituduh terlibat dengan hilangnya Edityawarman. Pasukan TNI masuk ke dusun Tepin mengambil masyarakat dusun tersebut. Pada 3 Mei 1999, warga tidak terima dengan tindakan aparat akhirnya menggelar aksi protes di kantor Koramil. Warga meminta Koramil untuk membebaskan warga yang ditangkap oleh aparat. Tanpa dikomando setelah mendengar ada orang ditangkap, maka semua ibu-ibu keluar ke jalan-jalan sehingga kerumunan massa semakin banyak di jalan-jalan Lancang Barat dan sekitarnya. Pada saat itu ada warga yang menaruh drum minyak tanah dipinggir jalan. Tiba-tiba masuk TNI dari Yonif 113/Jaya Sakti. Truk Reo (Ransom E. Olds Motor Car Company) mereka menabrak drum yang ditaruh dijalan oleh massa, sehingga suasana semakin memanas. Massa semakin marah dan menuju simpang KKA dari berbagai arah. Sehingga di simpang KKA semakin dipenuhi oleh massa. Pada 03 Mei 1999, tepat pukul 09.00 WIB, empat truk pasukan TNI memasuki desa Lancang Barat, Kec. Dewantara. Ditempat tersebut kemudian datang aparat Yonif 113/Jaya Sakti yang bersenjata lengkap dan berbaris di sisi kanan jalan. Pukul 12.30, salah satu aparat yang sebelumnya dikepung warga melarikan diri ke arah belakang reo sambil membawa HT dan menembak keudara sebanyak dua kali. Ketika warga mencoba mengejar aparat tersebut, tiba-tiba dari arah sebelah kiri (Markas Detasemen Rudal 001/Lilawangsa) datang reo berisikan puluhan aparat bersenjata menembak ke arah masyarakat. Sebagian dari mereka turun dari truk dan berjalan ke arah kerumunan massa sambil menembak secara acak dan sebagian masih tetap menembak dari atas truk. Korban-korban yang terkena tembakan berdasarkan data yang ada, sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 21 orang yang meninggal dunia sebagai akibat dari peristiwa tersebut. Peristiwa Pembunuhan Bumi Flora Aceh Timur PT. Bumi Flora adalah perusahaan perkebunan di Dusun Pelita, Desa Alur Rambut, Kecamatan Banda Alam (sebelumnya Kecamatan Idi Rayeuk), Kabupaten Aceh Timur. Kamis, 9 Agustus 2001 adalah hari libur bagi karyawan PT. Bumi Flora. Namun sekitar pukul 07.30 Wib, datanglah sekelompok orang yang tidak dikenal dan memakai pakaian loreng serta membawa senjata api masuk ke lokasi perkebunan. Kemudian kelompok ini mendatangi rumah-rumah para karyawan dan memerintahkan pada setiap warga laki-laki untuk ber kumpul. Setelah itu para laki-laki dibariskan dalam beberapa barisan dan masing-masing diminta membuka baju serta berjongkok dengan tangan di atas paha. Setelah itu salah seorang dari kelompok tersebut bertanya kepada Mandor Kepala Afdeling IV yang bernama Samsul mengenai berapa jumlah Kepala Keluarga yang ada di AfdelingIV dan kemudian dijawab oleh bahwa di AfdelingIV ada 42 KK. Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, orang tersebut menembak Samsul. Tidak lama kemudian terdengar rentetan tembakan yang mengarah kepada barisan warga laki-laki. Pada saat itu juga terjadi penembakan lainnya terhadap warga laki-laki yang masih berada di luar barisan/sekitar lokasi kejadian. Para perempuan yang sebelumnya diperintahkan masuk ke dalam rumah, kemudian dikumpulkan di dekat para korban yang tergeletak. Sepeninggal rombongan berseragam loreng tersebut, warga perempuan Afdeling IV PT.Bumi Flora mencari suami mereka masing-masing yang sebagian besar sudah menjadi mayat. Saksi sempat menghitung dan membolak-balik mayat dan menemukan bahwa ternyata di antara para korban ada yang masih hidup sebanyak 7 (tujuh) orang dan 2 (dua) orang lainnya tidak dikenal oleh saksi.          Bantuan baru datang ke lokasi kejadian 6 jam setelah kejadian, yaitu sekitar 14.00 Wib, dan langsung mengevakuasi para korban dengan menggunakan 2 (dua) unit mobil ambulance ditambah dengan mobil PT.Bumi Flora sejenis truk yang biasanya digunakan untuk mengangkat kelapa sawit. Pada peristiwa tersebut telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 31 (tiga puluh satu) orang, korban hilang sebanyak 1 (satu) orang, dan korban luka sebanyak 5 (lima) orang, serta 2 (dua) orang selamat tanpa menderita luka-luka. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa dan Kuburan Massal di Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah. Pada akhir tahun 2001, tepatnya antara bulan Agustus sampai dengan Desember terjadi penghilangan orang secara paksa di Kecamatan Timang Gajah (sekarang Timang Gajah dan Gajah Putih). Beberapa orang warga hilang dari desanya, yaitu Desa Reronga dan Desa Sumberejo Kecamatan Timang Gajah (sekarang Gajah Putih), Desa Bumi Ayu (sekarang Desa Bandar Lampahan), Desa Rembune, Desa Damaran, dan Desa Fajar Baru Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Sampai saat ini keberadaan warga yang ditangkap tidak diketahui. Sudah 11 (sebelas) tahun setelah peristiwa penghilangan orang secara paksa, tersiar kabar mengenai telah ditemukannya beberapa kuburan tidak dikenal di kebun milik warga, di Desa Bumi Ayu. Penggalian berlangsung pada 16 Juli 2012. Ada 3 titik yang digali saat itu, titik kedua sudah jelas korban dan keluarganya dari pakaian pakaian yang dikenakan dan geligi korban. Titik pertama dan ketiga saat itu ikut digali juga, tapi dihentikan oleh pihak Koramil karena belum ada surat izinnya. Aparat keamanan sering melakukan razia di kampung-kampung di wilayah Kecamatan Bakongan, termasuk di Desa Jambo Keupok tersebut. Paska DOM yaitu pada malam 16 Mei 2013, sekitar 22.00 WIB warga mendengar suara letusan senjata api aparat TNI di lapangan bola kaki Bakongan. Kemudian pada 17 Mei 2003 pukul 05.30 – 07.00 WIB penduduk Jambo Keupok, Kec. Bakongan, Aceh Selatan dikejutkan dengan kedatangan 3 truk reo tentara (warna hijau) yang memasuki rumah Abdullah Hadad. Di antara tentara tersebut terdapat seorang cuak (informan sipil bagi tentara) yang memakai seragam militer, sebo, dan me megang parang. Selanjutnya para lelaki dikumpulkan di luar rumah, para perempuan ditempatkan di dalam rumah warga dan di kelas SDN Jambo Keupok. Sementara itu warga dan 10 laki-laki lainnya diperintahkan berdiri berjejer didepan rumah yang jaraknya 15 meter 13 dari tempat anak laki-laki dikumpulkan. Kemudian satu-satu para perempuan dikeluarkan dan dipindahkan ke SDN Jambo Keupok. Ke-12 orang laki-laki yang berada di depan rumah warga diperintahkan mengangkat tangan dan +15 tentara mengeluarkan tembakan acak ke arah para lelaki yang berbaris ini, ada yang terkena kakinya atau tangannya atau punggungnya. Setelah tentara meninggalkan desa, warga Desa JamboKeupok baru berani mendatangi rumah warga yang sudah habis terbakar dan menemukan mayat-mayat yang terbakar. Dalam peristiwa 17 Mei 2003 di Jambo Keupok menyebakan: 1. Korban jiwa atas 16 orang laki-laki (12 dibakar hidup-hidup dan 4 orang mati ditembak) 2. Penyiksaan yang dilakukan terhadap 16 orang yang kemudian mati (ditendang, dipukul dengan popor senjata), 1 orang korban perempuan yang dipukul dan ditembak hingga pingsan, dan 1 orang korban perempuan yang dipukul di bagian belakang kepala. 3. Rumah yang hancur dibakar sebanyak 4 rumah beserta isinya. Peristiwa ini terkait dengan DOM Aceh Sumber: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa DOM di Provinsi Aceh

D. AKIBAT DARI DOM DI ACEH
       Masyarakat Aceh sadar betul bahwa limpahan kekayaan alam yang seharusnya mereka nikmati ternyata justru diberikan pemerintah pusat kepada asing. Keuntungan sumber daya alam yang semestinya dikelola pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat di sana, malah digelontorkan untuk kepentingan elit penguasa maupun investor asing.
Padahal, masyarakat Aceh telah menorehkan perjuangan luar biasa dalam mengusir penjajah dari bumi Serambi Mekkah. Namun pada kenyataannya, mereka justru menjadi anak tiri bagi ibu kandungnya sendiri. Rasa sakit hati karena diperlakukan tidak adil inilah yang menyulut berbagai reaksi protes di sana.
       Berbagai reaksi protes masyarakat Aceh yang menuntut keadilan serta gerakan-gerakan yang menentang dampak industrialisasi justru oleh pemerintah dianggap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Munculnya GPK  maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sudah eksis sejak tahun 1976, akhirnya membulatkan tekad Presiden Soeharto untuk memberlakukan Daerah Operasi  Militer (DOM) di sana. Dengan sandi Operasi Jaring Merah, DOM resmi diberlakukan pada tahun 1989.
Sayangnya, selama DOM berlangsung bukannya rasa aman dan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat Aceh. Namun malah sebaliknya, keamanan masyarakat Aceh sangat terancam. Mereka seakan menjadi pesakitan. Berbagai teror dan tindak kekerasan menjadi pemandangan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Sejumlah kasus HAM mewarnai sepak terjang aparat militer selama mereka bertugas di sana. Selama masa operasi DOM digelar, korban dari masyarakat terus berjatuhan.
       Dalam kurun waktu 1989 hingga 1998 sudah tercatat 8.344 masyarakat sipil tewas, 4.670 anak-anak menjadi yatim, 1.465 wanita menjadi janda, 875 orang dinyatakan hilang, 298 orang cacat, 809 rumah dibakar, serta sejumlah kasus perkosaan adalah kisah tragis yang harus dirasakan oleh masyarakat Aceh. Ironisnya, pelaku semua tindakan pelanggaran HAM berat tersebut justru aparat keamanan yang seharusnya melindungi mereka.
Berdasarkan sejumlahkasus HAMdi atas, jumlah janda yang tertinggi akibat DOM disinyalir terjadi di  daerah Pidie. Jumlah total janda di Pidie mencapai 5,5% dari total penduduknya (1990). Setidaknya pada waktu itu jumlah janda mengalami kenaikan hingga menembus angaka 24 ribu.
       Banyaknya jumlah janda di Pidie menyebabkan rasio jumlah penduduk pria dan wanita menjadi tidak proporsional. Perbedaan yang mencolok tersebut sangat terlihat dalam rentan waktu antara tahun 1990 hingga tahun 1997, yaitu sebagai berikut.
Ø  Tahun 1990 : jumlah penduduk pria 204.900, wanita 216.447
Ø  Tahun 1991 : jumlah penduduk pria 205.549, wanita 217.608
Ø  Jumlah yang serupa terjadi hingga tahun 1995
Ø  Tahun 1996 : jumlah penduduk pria 219.533, wanita 238.012
Ø  Tahun 1997 : jumlah penduduk pria 220.844, wanita 239.547
Persebaran jumlah janda di Pidie sangat merata di hampir setiap kecamatan. Peringkat teratas terdapat di kecamatan Pidie, Bandar Dua, Meuredu, Bandar Baru, Glumpang Tiga, dan Mutiara. Tidak hanya itu saja. Tingkat pertumbuhan penduduk di Pidie juga terkena imbasnya.
       Jika sebelumnya tingkat pertumbuhan penduduknya rata 1,4% per tahun, maka kemudian terjadi kemerosotan hingga mencapai 0,4% per tahun. Padahal rata-rata pertumbuhan penduduk secara nasional pada waktu itu adalah 2%. Rendahnya tingkat pertumbuhan penduduk Pidie disinyalir bukan karena faktor KB, namun cenderung akibat tingginya angka kematian jika dibandingkan dengan angka kelahiran hidup.

E. KASUS HAM ACEH MENYEBABKAN TRAUMA
       DOM telah menyisakan trauma psikis yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh. Luka yang mendalam akibat DOM telah tertoreh dalam di hati anak-anak, wanita, pria, baik yang muda hingga yang tua. Mereka yang mengalaminya langsung tentu merasakan trauma psikis yang lebih berat bila dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya langsung.
Kasus HAM selama DOM berlangsung ternyata berpotensi menyebabkanmental disorder(kekacauan mental). Setidaknya, ada lima bentuk kekacauan mental yang timbul akibat hal tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Paranoid. Dimana timbul rasa takut, sehingga memunculkan rasa curiga dan sikap bermusuhan kepada orang yang tidak dikenalnya.
b.      Neurosa Depresif. Semacam gangguan perasaan yang ditandai dengan tidak bersemangat, merasa tidak memiliki harga diri, apatis, menyalahkan diri sendiri, bahkan menimbulkan keinginan untuk bunuh diri.
c.       Neurosa Phobia. Merupakan bentuk ketakutan yang luar biasa terhadap hal-hal yang mampu menimbulkan rasa trauma pada diri yang bersangkutan. Sebagai contoh, wanita yang mengalami tindak perkosaan akhirnya merasa takut terhadap sosok pria yang mirip dengan pelaku perkosaan.
d.      Neurosa Histerik. Sebagai tandanya adalah hilangnya fungsi fisik maupun mental yang tanpa dikehendaki. Bentuknya antara lain berupa konversi kecemasan yang berbentuk gangguan fungsional syaraf, misalnya buta, tuli, atau lumpuh pasca menjalani pengalaman traumatis. Reaksi lain yang muncul bisa berbentuk disosiasi, yakni terpisahnya sejumlah fungsi kepribadian. Salah satu contohnya adalah timbulnya amnesia akibat keinginan yang kuat untuk melupakan trauma pada dirinya.
Kekacauan mental lainnya yang muncul sebagai dampak trauma psikis tersebut bisa berbentuk neurosa maupun psikosa. Jenis neurosa masih bersifat temporer sehingga berpeluang untuk disembuhkan. Sedangkan psikosa sifatnya menyeluruh dan bisa menimbulkan disorientasi terhadap lingkungan. Oleh karena itu peluang untuk sembuh sangat minim.

F. Kasus HAM - DOM Berakhir, Permasalahan HAM Aceh Belum Tuntas
       Meskipun akhirnya DOM tidak lagi diberlakukan pada masa Presiden Habibie, bukan berarti kasus HAM Aceh bisa terselesaikan dengan tuntas. Setidaknya, ada sejumlah indikasi yang menunjukkan hal tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Pertanggunjawaban Pemerintah
Masyarakat Aceh belum melihat sepenuhnya pertanggungjawaban pemerintah dalam mengatasi dampak DOM. Pemerintah belum menjalankan pertanggungjawaban secara hukum, sosial maupun politik. Pemerintah tidak berani bertindak totalitas untuk membongkar pihak-pihak yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini.
Begitu pula dengan janda-janda korban DOM. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab melakukan rehabilitasi ekonomi kepada mereka. Belum lagi trauma psikis yang harus diderita oleh korban DOM. Sudah seharusnya mereka mendapatkan perhatian yang intensif dari pemerintah. Namun, nampaknya pemerintah belum menunaikan tanggung jawabnya secara totalitas untuk semua itu.

2. Keadilan bagi Masyarakat Aceh
       Keadilan yang selama ini dituntut masyarakat Aceh nampaknya hanya tinggal harapan belaka. Buktinya hingga kini yang menikmati sebagian besar sumber daya Aceh tetaplah korporasi asing. Bahkan, keadilan HAM yang selama ini dikampanyekan di seluruh penjuru dunia ternyata tidak berlaku bagi masyarakat Aceh.
      




























BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN
       Bumi Aceh yang telah menjadi saksi bisu ladang pembantaian keji aparat militer, hingga kini tidak mampu berbuat apa-apa. Masyarakat pun dibuat menunggu dalam ketidakpastian, menanti itikad baik dari pemerintah.di mana Tentara Nasional Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.
       Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.
       Demikianlah, kasus HAM Aceh telah menorehkan tinta buruk di negeri ini. Semoga kasus yang serupa tidak akan pernah lagi terjadi. Dimana yang diharapkan di negeri ini, khususnya oleh masyarakat Aceh adalah rasa keamanan serta tegaknya masalah HAM di bumi tercinta, Indonesia.

B. SARAN
       Dalam hal ini seharusnya rakyat-rakyat yang tidak bersalah terutama wanita dan anak-anak yang masih dibawah umur tidak ikut terlibat dalam Operasi Jaring Merah. Namun sayang semuanya sudah terjadi dan semoga hal seperti ini tidak terulang kembali.
       Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang ada di makalah ini, oleh karena itu kami berharap kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk  penulisan  yang selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Akhmad Muamar, Makalah  Berisi Tentang pelanggaran HAM Di Indonesia
http://lylanet.blogspot.com /2013/09/makalah-berisi-tentang- pelanggaran-ham.html
DOMAceh; Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas; http://pelanggaran ham.com
http://sekitarkita.com/2002/05 /kronologi-singkat-tragedi- aceh/
http://rizkynugraha46.blogspot.co.i d/2015/11/apa-yang-melatar- belakangi-peristiwa.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar